106.

Tiga tahun ia bersama Aletta dan ini adalah pertama kalinya ia melihat gadis itu datang ke tempat seperti ini. Wajahnya terlihat benar-benar menggambarkan bahwa dunianya sedang hancur. Gama sangat terkejut, lututnya seketika melemas ketika melihat gadis itu berkali-kali menegukkan air yang ada di sebuah cangkir berisi alkohol.

Langkah demi langkahnya ia dekatkan untuk menghampiri Aletta. Gadis itu sadar dengan kehadiran Gama dan tersenyum sangat manis sekali walaupun penampilannya sudah sedikit berantakan. Jika boleh jujur, Gama sangat merindukan bagaimana cara gadis itu menampilkan senyum yang hanya untuknya.

“Kirain ngga dateng,” ujar Aletta dengan polosnya, sepertinya ia sudah mabuk.

“Minum sini.” Wajah Aletta sudah terlihat sangat sayu.

“Ayo pulang,” ujar Gama sembari mencoba menarik lengan Aletta.

“Gama, lo kangen sama gue ngga sih?”

“Kalo ngga, kok hebat banget? Gue aja tiap malem nangisin lo terus.” Ucapannya sudah ngawur dengan sembari sesekali kembali meneguk minumannya.

Aletta tiba-tiba merentangkan tangannya. “Mau peluk, ayo peluk.”

Gama hanya terdiam, tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Aletta.

“Ayo peluk, kita liat Pio. Pio udah gede tau, kamu mau cium aku lagi nggak?” Suaranya sangat terdengar girang, padahal air matanya sudah membasahi pipi cantiknya.

“Ayo pulang, malu diliat orang-orang.” Gama akhirnya berhasil membawa Aletta keluar dari tempat itu, menuntun tangan milik Aletta dengan sedikit paksaan. Banyak sekali pasang mata yang melihat ke arah mereka, tetapi Gama tidak mempedulikannya. Aletta pun hanya pasrah, bahkan saat ini senyumnya sangat mengembang, matanya terus memperhatikan wajah Gama yang ternyata dirasa semakin tampan.

Gama mendudukkan Aletta di kursi samping pengemudi, ia hendak mengantarkan Aletta terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.

Saat ia melajukan mobilnya, Aletta terus berceletuk dengan tidak jelas. Namun, ada beberapa kalimat yang sangat menyinggung hatinya.

“Coba bilang sama aku, apa yang Freya punya dan apa yang ngga aku punya sampe kamu mau sama dia?” tanya Aletta.

“Lebih cantik dia, ya? Uang dia lebih banyak?”

“ Hahaha. Kalo aku kasih kamu perusahaannya mami, kamu mau cerai sama Freya terus balik lagi sama aku nggak?”

Tak ada jawaban dari Gama membuat Aletta semakin melontarkan kalimat-kalimat aneh.

“Gama, peluk aku ….” Aletta memohon dengan mata yang sudah sangat merah dan berkaca-kaca. Dadanya sangat sesak, bahkan untuk bicarapun rasanya sudah tidak kuat. Namun, Gama sama sekali tidak meladeni semua kalimat yang Aletta ucapkan. Pandangannya hanya fokus ke depan untuk menyetir.

“Kamu udah ngga peduli ya sama aku?” Lagi dan Lagi Gama tidak menjawabnya.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering beberapa kali, menandakan beberapa missed call karena Gama yang tak kunjung mengangkatnya.

Saat panggilan kali ini, Gama mencoba menjawabnya dan ternyata Freya yang menelfonnya.

Sekitar sepuluh detik ia mendengarkan suara dari sebrang sana. Tanpa membalas dengan suaranya, Gama segera mematikan ponselnya dan menambah kecepatan mobilnya.

Aletta masih merengek, melontarkan kalimat-kalimat yang berkali-kali tidak Gama jawab.

Tangan Aletta mencoba menggapai wajah Gama, memeganginya berkali-kali dengan sesekali tertawa.

“ALETTA DIEM DULU!” Sekalinya Gama berbicara, suaranya sangat lantang hingga mengeluarkan bentakan untuk Aletta.

Tentunya Aletta sangat terkejut dan segera menyingkirkan tangannya dari wajah Gama.

Tiba-tiba Aletta teringat bagaimana dahulu yang ia juga pernah dibentak seperti ini saat hubungannya masih baik-baik saja dengan Gama.

“Kamu mau anterin aku pulang, kan ….”

“Anterin aku pulang ….” Gama kembali fokus, laju mobilnya sangat cepat.

“Anterin aku pulang.” Suara Aletta kini lebih menekan.

“Ke rumah aku dulu,” ujar Gama singkat.

“Ngapain? Aku mau pulang.”

Aletta berteriak, “AKU MAU PULANG!”

Gama menatap Aletta sekilas. “FREYA DI RUMAH JATUH AKU NGGAK BISA KALO ANTERIN KAMU PULANG DULU!” Suara Gama tak kalah lantang, bahkan bentakannya lebih keras dari sebelumnya.

Ternyata ini alasan Gama tiba-tiba menaikkan laju kecepatan mobilnya sampai hampir menabrak pengendera lain. Gama sedang khawatir karena sosok wanita yang sedang menunggunya di rumah sedang tidak baik-baik saja.

Aletta nekat membuka seat belt-nya dan hendak membuka pintu mobil saat Gama sedang melaju dengan sangat cepat.

“Kamu mau ngapain? Jangan gila!” Akhirnya Gama menepikan mobilnya di pinggir trotoar.

“Keluar,” ujar Gama tanpa sama sekali melihat ke arah Aletta.

“Kamu … nurunin aku di pinggir jalan?”

“AKU BURU-BURU, ALETTA! AKU NGGA MAU DI RUMAH FREYA KENAPA-NAPA!” Lagi dan lagi bentakan yang Aletta dapatkan dari mulut laki-laki yang detik ini masih menjadi seseorang yang paling ia cintai.

Aletta menatap Gama sangat tidak menyangka. “Oke ….”

“Kamu hati-hati nyetirnya,” ujar Aletta kemudian ia keluar dari mobil Gama.

Gama segera kembali melajukan mobilnya, meninggalkan Aletta seorang diri di pinggir jalan.

Air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia tidak tahu harus bagaimana saat ini. Gama meninggalkannya seorang diri di pinggir jalan yang begitu gelap, hanya ada lampu pengendara yang berlalu lalang. Bahkan kepalanya sudah sangat berat, untuk melangkah saja sepertinya sudah tudak kuat. Aletta merasa benar-benar mual, dirinya sudah sangat mabuk.

Ternyata Gama tidak seperti Aletta. Laki-laki itu sudah benar-benar terlihat mengikhlaskan Aletta. Padahal jiwa ia sendiri masih tertinggal pada masa lalu. Gama masih menempatkan di ruang paling spesial di hatinya. Kini sumber kekhawatiran Gama bukan lagi Aletta. Bahkan ia bisa melihat jelas bagaimana raut wajah Gama yang sangat panik saat mendapatkan kabar buruk dari istrinya.

Secepat itu, Gama? Secepat itu kamu bisa menggantikan Aletta di hati kamu?