263.
ㅡ
Aletta terbangun ketika dering alarm dari ponselnya itu berbunyi. Ia mengusap matanya dan jam di ponselnya menunjukkan pukul sembilan.
Ah, ternyata masih berada di apartemen Gama.
Aletta melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu, kemudian terlihat lah Gama yang sedang menyiapkan beberapa makanan.
Gama sadar akan kedatangan Aletta, membuatnya menghentikan aktivitasnya.
Mereka saling bertatapan satu sama lain.
Canggung, seperti itulah kira-kira suasananya.
“Kamu kenapa sih kaya anak kecil?” tanya Aletta memecahkan kecanggungan keduanya.
“Ngapain minum sebanyak itu?”
“Cari perhatian ke aku? Iya?”
Gama mendekatkan dirinya pada Aletta. Kini terlihat jelas mata Gama yang kantung matanya terlihat besar.
Gama membalas ocehan Aletta, “baru semalem bilang “aku di sini, aku ga bakal ke mana-mana” tapi kok sekarang—“
“Aku mau udahan.” Aletta memotong ucapan Gama ketika laki-laki itu sedang memperagakan ucapannya saat semalam.
“Aku ngga bisa kalo kamu terus-terusan begini.”
“Aku juga pengen denger cerita kamu, aku pengen peluk kamu pas kamu cerita kalo hari kamu ngga baik-baik aja.”
“AKU PENGEN HUBUNGAN KITA ITU GAK CUMA HUBUNGAN DI ATAS STATUS.” Aletta berteriak dengan disusul satu tetes air matanya.
Benar, Aletta ingin sekali hubungannya ini bukan hanya sekedar hubungan di atas status. Ia ingin satu sama lainnya mengerti akan komitmen yang sesungguhnya.
“Iya ….”
“Iya, sekarang aku ngga lagi baik-baik aja, peluk aku sekarang, Aletta. PELUK AKU BUKAN NINGGALIN AKU!” Suara Gama pun tak kalah lantang dengan suara milik Aletta.
Aletta yang terkejut dengan bentakan yang diterimanya dari Gama.
Keduanya saling terdiam. Aletta dengan air matanya yang mulai mendominasi pipinya dan Gama yang emosinya mulai sedikit naik.
Gama tidak pernah kuat ketika melihat wanita yang dicintainya itu mengeluarkan air mata dan membasahi pipinya, apalagi jika itu karena ulahnya. Gama juga sebenarnya tidak pernah berani untuk membentak seorang wanita, karena itu membuatnya akan memunculkan penyesalan di hatinya.
Hatinya terus menggerutu bahwa dirinya adalah manusia paling brengsek ketika harus mengeluarkan nada tinggi jika ada beribu cara untuk berbicara secara halus.
Gama akhirnya bisa mengalahkan egonya, laki-laki itu membawa Aletta ke dalam dekapannya.
“Maaf ….”
“Jangan nangis, please, jangan nangis.”
“Aku takut liat orang nangis.”
Berkali-kali Gama menciumi pucuk kepala milik Aletta.
Aroma gadisnya yang selalu menjadi candu bagi Gama ketika ia mencium pucuk kepala gadisnya. Aroma yang tidak pernah berubah dan akan selalu menjadi kesukaannya. Karena jujur, aroma rambut Aletta sangat mirip dengan aroma rambut milik Alena, membuatnya semakin rindu kepada adik perempuannya yang sudah meninggalkannya terlebih dahulu.
“Kamu kalo aku nikahin sekarang dimarahin bunda gak?”
Aletta memukul dada bidang Gama dengan cukup keras, membuat samg empu meringis. Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini Gama melontarkan lelucon seperti itu.
Gama sangat khawatir jika Aletta benar-benar meninggalkannya. Ia sudah dua kali ditinggal pergi oleh kedua wanita yang ia anggap sebagai dunianya, Mama dan Alena. Gama tidak mau jika harus mengalami untuk ketiga kalinya, ditinggalkan oleh wanita yang paling dicintainya.
Entah sejak kapan, tapi yang pasti, kini Aletta sudah menjadi dunianya. Dunia milik Gama yang selalu membuatnya semangat, dunianya yang selalu membuat hatinya berdebar kencang ketika melihatnya, sekalipun hanya memandangnya dari jauh.