277.

Pada malam minggu ini, pertemuan Gama dan Mami Aletta itu diawali dengan makan malam bersama.

Mami Aletta ternyata sangat cantik, sangat mirip dengan Aletta. Namun, terlihat sedikit jutek karena sedari tadi maminya hanya memasang wajah yang datar dan hanya sesekali bertanya kepada Gama, tidak ada obrolan yang panjang.

Saat makan malamnya selesai, dilanjutkan mengobrol ringan.

Tidak, bukan mengobrol. Lebih tepatnya hanya banyak pertanyaan dari Mami Aletta kepada Gama.

“Jadi kamu satu kampus sama Aletta?” tanya Mami Aletta. Padahal pertanyaan itu sudah dilontarkannya sewaktu mereka sedang makan.

“Iya, tante,” jawab Gama dengan nada yang ramah.

“Waktu itu kenapa kamu mau diajak Aletta naik metromini? Kamu ngga ada mobil?”

“Mi, kan Aletta udah bilang, Aletta yang mau naik metromini, masa Gama ngelarang.” Aletta menyanggah karena sepertinya pertanyaan maminya itu sudah mulai melenceng ke mana-mana.

“Diem. Mami nanya dia, bukan nanya kamu.”

Aletta hanya bisa menghembuskan napas, pasrah dengan kelakuan maminya.

“Saya ngga ngizinin kalo kamu ngajak anak saya jalan tapi harus panas-panasan.” Tiba-tiba saja suasananya menjadi tegang.

“Kamu punya mobil?”

“Mami,” Aletta mulai merasa tidak enak pada Gama. Ternyata dugaan Aletta benar, dari awal ia sudah takut jika maminya akan mempertanyakan hal-hal seperti ini. Ia takut Gama akan merasa tidak nyaman.

Gama tersenyum, “ada tante.”

“Kamu tinggal di rumah atau ngekost?”

“Di apart, tante.”

“Oh, kamu sewa unit?”

“Bukan, tante. Ini apart punya mama saya.”

Mami Aletta mengangguk-ngangguk, “ah, punya mama kamu.”

Di setiap pertanyaannya, Gama selalu menjawabnya dengan diiringi senyuman.

Rentetan-rentetan pertanyaan mami Aletta itu sudah seperti sedang wawancara tes kelulusan untuk mendapatkan restu.

Mami Aletta kembali bertanya, “waktu kamu cuma buat kuliah atau ada aktivitas lain yang penting?”

Ada sedikit jeda sebelum Gama menjawabnya.

“Saya kerja part time juga, tante.”

“Part time? Di?”

“Di cafe temen saya.”

“Jadi barista? Kamu jago bikin kopi?”

Gama langsung menggeleng cepat, “bukan, tante. Saya cuma jadi pelayan di sana.”

Aletta hanya bisa memegang keningnya, karena merasa sangat tidak enak pada Gama. Namun, Aletta pun tidak bisa bertindak apa-apa.

Terlihat jelas raut wajah maminya yang terkejut ketika mendengar jawaban dari kekasih anaknya.

“Pelayan cafe? Kok kamu jadi—“

“Mami.” Kini suara Aletta terdengar menekan dan menatap maminya dengan kesal.

“Mami ngga usah nanya-nanya sampe sedetail itu bisa ga sih? Itu bukan urusan mami.”

“Loh, mami kan nanya-nanya biar tau pacar kamu itu orang yang kaya gimana. Biar kamu ngga jatuh di laki-laki yang salah. Kamu ini gimana sih, orang mami—“

“Aku ga mau manggil papi ke Om Rion.”

Mendengar ucapan Aletta yang memotong perkataannya, sontak Mami Aletta langsung menatap Gama dan tersenyum sedikit terpaksa.

“Maaf ya Nak Gama, kalo saya nanyanya terlalu detail.”

Lagi-lagi Gama membalasnya dengan senyuman. “Ngga apa-apa, tante. Ngga masalah.”

“Tuh, cowok kamu aja ngga keberatan kalo mami—“

Aletta bangkit karena kekesalannya sudah mulai naik. “Mami.”

“Iya-iya. Sini duduk lagi.” Mami Aletta menarik lengan Aletta, menuntunnya agar kembali duduk.

Aletta benar-benar merasa tidak enak pada Gama. Ia takut Gama merasa tersinggung atau merasa tidak nyaman. Walaupun sebenarnya memang Gama sudah merasa tidak nyaman, tetapi Gama bisa membohongi situasi, ia tetap memasang raut wajah yang tenang dan terus tersenyum ramah, seolah tidak merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan dari Mami Aletta.