49.

Seperti pada perjanjiannya, Alsha, Jay dan Jio berlatih bersama untuk mempersiapkan lomba yang diselenggarakan dari ajang pemilihan duta sosial di sekolahnya. Mereka berlatih di rumah Jay dan Jio sudah terlebih dahulu sampai di sana.

Mereka memulai latihannya dengan literasi bersama di gazebo yang ada di halaman rumah Jay. Masing-masing membaca sebuah buku paket berisi materi sejarah minat.

Alsha dan Jio dengan teliti membaca bukunya dalam hati. Sedangkan Jay, laki-laki itu malah hanya membuka bukunya tanpa membacanya. Matanya terus tertuju pada satu objek.

Merasa diperhatikan, Alsha mengangkat pandangannya dan melihat ke arah Jay.

“Jay, baca.” Suara Alsha terdengar menekan.

Jay malah tersenyum dengan polosnya tanpa melakukan apa yang diperintahkan oleh Alsha.

Alsha kembali bersuara dengan lebih menekan. “Jay.”

Jio melihat kedua temannya itu, ia tak bisa kembali fokus.

Alsha mengingatkan janji Jay sebelumnya yang akan dengan serius mengikuti latihan untuk lombanya. “Lo udah janji bakal serius ngikutin lomba ini,” ujar Alsha.

Jay menggeleng, kemudian mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba mengambil titik fokusnya.

Sorry,” ujar Jay.

Mereka kembali membaca bukunya masing-masing. Namun, belum juga lima menit, Jay kembali menatap Alsha. Seperti ada magnet dari perempuan itu, mata milik Jay selalu tertarik untuk terus menatapnya.

Tiba-tiba Jay berceletuk, “lo percuma banget cantik tapi bukan punya gue.”

Alsha dan Jio segera melihat ke sumber suara. Terdapat Jay yang menumpu kepalanya pada tangan kanannya dengan cengiran yang tidak jelas

Jio dengan polosnya membalas, “bukan punya kamu lah, Alsha kan punya mama papanya.”

“Please, lo mau serius nggak sih?” Alsha sudah mulai kesal. Dugaannya benar, latihan untuk lombanya tidak akan berjalan lancar jika ada Jay di dalam team—nya.

Jay langsung menegakkan badannya, menunjukkan bahwa dirinya semangat. “Serius, lah. Yuk, kapan? Sekarang juga gas.”

Alsha tak mengerti konteks dari ucapan Jay.

“Gue mah serius, mau sekarang langsung pacaran, gas. Lonya aja yang ga mau diseriusin.”

Entah harus merespon bagaimana lagi, Alsha sudah lelah. Impiannya saat ia kelas sepuluh adalah bisa menjadi duta sosial perwakilan dari kelasnya. Namun, sepertinya mimpinya itu tidak akan pernah tercapai.

Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghampiri mereka, lebih tepatnya menghampiri Jay. Wajahnya sangat tak asing bagi Alsha.

“Kunci motor?” Laki-laki itu tiba-tiba berujar sembari menjulurkan telapak tangan kanannya pada Jay.

Jay melemparkan sebuah kunci motor dan langsung tepat ditangkapnya.

Laki-laki berbadan tinggi itu langsung kembali berbalik badan dan pergi begitu saja.

“Kok ada Kak Gama?” tanya Alsha dengan suara pelan dan ragu.

“Ada lah orang rumahnya,” ujar Jio dengan polosnya.

Alsha semakin dibuat bingung. “Maksudnya?”

“Abang gue.”

Alsha terkejut bukan main. Jay sedang tidak berbohong?

Pasalnya, Gama adalah anak yang sangat rajin, selalu mendapat ranking tiga besar paralel, Gama juga anak yang sangat irit ngomong, tipikal cowok dingin yang diidam-idamkan kaum hawa di sekolah. Bagaimana bisa Jay adalah adiknya? Sifatnya sangat bertolak belakang. Jay sangat petakilan, tidak mau diam, omongannya selalu ceplas-ceplos bahkan sering mendapatkan ceramah dari guru akibat tidak pernah mengerjakan tugas serta selalu membuat gara-gara di kelasnya.

Jio menahan tawanya ketika melihat ekspresi wajah Alsha yang bingung.

“Aku juga kalo jadi kamu nggak bakal percaya sih Jay adiknya Bang Gama,” ujar Jio.

“Jangankan elu, gue juga ga percaya gue adiknya si Gama. Jelas gue ganteng gini abangnya malah macem komodo belum paksin.”

Kan, benar. Omongan Jay sangat ceplas-ceplos. Abangnya jauh dari sifat itu, Gama sangat irit dalam berbicara.