Heartbreak Anniversary.

Jakarta, 20 Desember 2021 ㅡ Tentang hari yang paling menyakitkan.

Katanya, dunia ini adalah tentang di mana segala sesuatunya ada yang datang dan ada yang pergi. Yang datang tidak akan selalu singgah dan yang pergi pasti akan digantikan oleh yang datang.

Katanya, tidak ada perpisahan yang tidak menyakitkan.

Katanya, perpisahan itu mengerikan.

Katanya, perpisahan itu menakutkan.

Benar, memang. Aletta sendiri bisa merasakannya. Luka pada hatinya begitu dalam, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu apakah bisa mengobatinya atau tidak.

Mata yang sangat berkaca-kaca itu tidak bisa disembunyikan ketika melihat laki-laki yang dahulu menjadi miliknya, yang dahulu menjadi rumahnya, yang dahulu sangat dicintainya kini sudah sepenuhnya milik wanita lain.

Senyum Gama terlihat sangat bahagia, begitu pula senyum wanita yang ada di sampingnya. Mereka menjadi sepasang pengantin bagaikan raja dan ratu dalam sehari. Sepertinya laki-laki itu sudah lupa bagaimana kenangan yang dibuat bersama-sama dengan Aletta. Laki-laki itu sepertinya lupa jika minggu lalu adalah hari dimana hubungannya menjalankan waktu yang ketiga tahun ...

jika masih bersama.

Padahal dulu, senyum indah milik laki-laki itu hanya tercipta karenanya, bahu kokohnya hanya menjadi tempat bersandar untuknya, lengan besarnya hanya untuk mengusap surainya ketika menguatkannya. Kini semua itu bukan miliknya lagi.

Padahal dulu, mereka sudah merangkai semuanya. Merangkai tentang bagaimana acara pernikahannya nanti, membayangkan betapa gemasnya putra-putrinya nanti, dan membayangkan bagaimana Gama yang setiap hari akan disuguhi pemandangan istri cantiknya. Itu semua sudah pernah mereka rancang dan Aletta kira, kursi pengantin wanita yang kini menjadi tempat istrinya itu akan ditempati olehnya. Ternyata tidak.

“Al, aku kira kamu nggak dateng,” ujar Gama saat Aletta dan Melio menghampiri kursi pengantin untuk memberikan salam dan ucapan selamat.

Aletta tersenyum. Senyum yang ditunjukkan sebagai bentuk turut serta rasa suka citanya untuk laki-laki itu. Padahal senyum itu adalah senyum yang sangat menyakitkan yang pernah Aletta rasakan. “Dateng, kok. Anyway, selamat, ya. Semoga bahagia dunia akhirat,” ujar Aletta dengan diiringi tawa ringannya.

Melio menatap Aletta, ia paham pasti perempuan itu sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Di bawah sana, Melio diam-diam meraih punggung tangan Aletta dan mengusapnya pelan dengan ibu jarinya.

“Selamat ya, bro.” Melio bersalaman kemudian menepuk punggung Gama beberapa kali.

Freya yang kini ada di samping Gama sebagai pengantin wanita tiba-tiba memeluk Aletta ketika Aletta memberikan ucapan selamat padanya.

“Thank you, Aletta. Kirain nggak bakal dateng, gue nunggu-nunggu banget dari tadi,” ujarnya.

Aletta tersenyum menanggapinya. Saat Melio, Haidan, Dion dan Nandra sedang berbincang kecil setelah memberikan ucapan selamat, Aletta tiba-tiba pergi menjauhkan diri dari mereka. Tentunya hanya Melio dan Gama yang sadar akan kepergian Aletta. Melio segera mengejar Aletta dan menarik lengannya.

“Mau kemana?” tanya Melio.

“Pulang. Udah, kan?”

Melio mengangguk dengan senyumnya yang sangat hangat, “oke, kita pulang.”

Saat Aletta dan Melio sudah masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja Gama datang dan membuka pintu mobilnya.

Napasnya terlihat sangat tersenggal-senggal. “Kamu udah mau pulang?” tanya Gama dan dibalas anggukan oleh Aletta.

Gama melirik ke arah Melio yang sedang menatapnya. Rasanya ingin sekali memeluk Aletta ...

untuk yang terakhir kalinya.

“Al ...”

“aku boleh peluk kamu?” Suaranya terdengar sangat dalam.

Aletta menggeleng. “Nggak, aku nggak mau ada yang salah paham. Aku mau tutup pintu mobilnya, tolong awasin tangan ka—”

Ucapan Aletta terpotong karena Gama yang tiba-tiba memeluknya. Dan saat itulah, tangisannya pecah.

Aletta sangat tidak kuat, dari tadi ia sudah menahan air matanya agar tidak keluar. Dan sialnya, tangan si brengsek itu mengusap punggung Aletta dengan pelan, membuat Aletta semakin ingin menangis.

Keduanya hanya saling berpelukan dalam diam, tidak ada yang bersuara. Ini akan menjadi pelukan yang terakhirnya, ini akan menjadi sentuhan terakhirnya. Tidak ada lagi Gama milik Aletta, tidak ada lagi Gama yang Aletta kenal, dan tidak ada lagi pelukan hangat yang bisa Aletta rasakan.

“Makasih ...”

“buat dua tahunnya,” ujar Gama pelan. Air mata milik laki-laki itu-pun turut membasahi pipinya.

Semesta memang jahat, tetapi akan lebih jahat lagi jika hari itu apa yang sudah Gama lakukan tidak Aletta ketahui. Perpisahan ini begitu mengerikan, hatinya hancur berkeping-keping. Tidak ada kalimat yang bisa mendeskripsikan rasa sakitnya. Aletta tidak mau berakhir, Aletta tidak mau Gama melepaskan pelukannya karena pada saat itu juga Aletta tidak akan pernah merasakan pelukan itu lagi.

Terkadang, hidup memang selucu itu. Dihadirkan seseorang selama dua tahun yang sudah seratus persen Aletta percayai. Namun, nyatanya tidak. Laki-laki itu sangat seperti iblis. Tidak sepatutnya Aletta menangisi perpisahannya saat ini karena memang Gama tidak pantas untuk mendapatkan wanita seperti Aletta. Namun, bagaimanapun juga Aletta yakin bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuknya. Ia yakin akan digantikan yang terbaik oleh Tuhan. Karena memang sudah hakikatnya, ada yang datang dan juga ada yang hilang.