ㅡ
Sejujurnya Gama sangat khawatir, bagaimana jika Aletta benar-benar ingin meninggalkannya?
Berbagai upaya Gama lakukan untuk kembali membujuk Aletta, dari terus menyepam chat dan telfon walaupun tidak ada respon sama sekali dari gadisnya, hingga ia menjemput Aletta di pagi hari untuk berangkat ke kampus. Namun, ternyata gadis itu sudah berangkat terlebih dahulu, membuat Gama tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Sesampainya di kampus pun Aletta mengabaikan Gama, gadis itu terus menghindar darinya.
Prak!
Tiba-tiba saja ada suara pecahan kaca yang sangat keras membuat lamunan Gama buyar. Sepertinya itu berasal dari kamar adiknya.
Gama langsung beranjak dari kasurnya dan segera menghampiri kamar milik Jay. Ia langsung membuka pintu kamar itu yang tidak dikunci.
Gama sangat terkejut ketika melihat telapak tangan Jay yang mengeluarkan darah. Walaupun tidak banyak darah yang keluar, tetapi tetap saja membuat Gama khawatir jika adiknya itu melakukan hal senonoh dengan sengaja.
Gama langsung menghampiri Jay yang sedang berdiri di depan meja belajarnya. Di meja belajarnya itu terdapat sebuah kaca rias milik mamanya yang kacanga sudah retak berkeping-keping dan beberapa foto keluarganya yang sudah sedikit tertetesi darah di atasnya.
“Ngapain si?” tanya Gama dengan sedikit emosi.
Jay menyengir, “nonjok kaca doang,” ujar Jay dengan entengnya.
Bisa terlihat jelas mata milik Jay itu merah dan bengkak, seperti habis menangis. Mungkin masih belum bisa menerima kepergian mamanya.
Sejujurnya Gama terkejut dengan apa yang baru saja Jay lakukan, karena dari awal kepergian mamanya, Jay lah yang terlihat paling kuat. Yang hanya menangis ketika pemakaman mamanya, itu pun tidak seberontak Gama.
Benar, Jay hanya memakai topeng. Laki-laki yang dua tahun lebih muda dari abangnya itu hanya berpura-pura kuat. Karena dia berpikir, Gama saja sudah seberontak itu ketika mengetahui mamanya tidak ada, jika Jay sama seperti Gama, siapa yang akan menguatkan Gama?
Jay yang selalu terlihat ceria bahkan selalu dicap konyol dan jahil karena ulahnya, ternyata menyimpan berjuta-juta luka di hatinya dan mengemban beribu-ribu beban di pundaknya.
Gama menarik pergelangan tangan Jay, hendak membawanya ke ruang tamu untuk mengobati lukanya. Namun, Jay dengan cepat menepis tangan Gama.
“Ga usah lebay, luka dikit doang,” ujar Jay dengan penuh penekanan.
“Lo bisa ga sih ga usah aneh-aneh?” tanya Gama dengan emosinya yang sudah mulai naik.
“Kita ga punya siapa-siapa lagi, ga usah ngelakuin yang aneh-aneh, kalo ada apa-apa ga bakal ada yang nologin kita.”
Jay terkekeh, “kaku amat lu kaya kanebo kering.”
Bisa-bisanya anak itu malah melawak ketika Gama sedang serius dengan emosinya.
Tak ada respon lagi dari Gama, mungkin daripada emosinya makin naik, laki-laki itu memutuskan untuk keluar dari kamar milik Jay.
“Kemana lo?” tanya Jay saat Gama mulai melangkahkan kakinya keluar kamarnya.
“Minum.”