haechanketawa

257.

Setelah pesan terakhir yang dikirim oleh Jea lewat DM twitter milik Aletta, Gama tidak berniat untuk membalasnya lagi. Untuk apa jika itu bukan Aletta?

Kini Gama menyenderkan punggungnya pada headboard kasur miliknya.

Suasana kamar miliknya cukup gelap, padahal kini masih pukul tiga sore. Gama sengaja menutup Jendelanya rapat-rapat dan mematikan lampu kamarnya.

Laki-laki itu menaruh keningnya pada dua tangannya, seakan sedang pusing dengan keadaan.

Gama kembali membuka ponselnya, melihat-lihat kembali chat terdahulunya bersama Aletta.

Gama malah terheran sendiri, mengapa balasan chatnya pada Aletta secuek itu?

“Bisa-bisanya Aletta ngirim pap dia secantik ini tapi malah respon gue gini doang?” Celetuk Gama pada dirinya sendiri.

250.

Sepasang kekasih itu saling berhadapan dan hanya saling bertatapan tanpa salah satunya mengalah untuk membuka suara.

Siapa lagi kalau bukan Gama dan Aletta.

Entah mengapa suasananya terasa sedikit canggung.

Namun, si gadis yang mengalah lebih dahulu. Membuka percakapan diantaranya.

“Kamu ngerokok?” tanya Aletta.

“Ngga.”

“Tapi kamu bau rokok.”

Ada jeda beberapa detik sebelum Gama menjawabnya. “Iya.”

“maaf ya,”

“kemarin kelepasan,” ujar Gama dengan polosnya.

“Kamu ngga tidur-tidur, ya?” Aletta malah bertanya tanpa memberikan respon pada permintaan maaf laki-laki itu.

“Mata kamu agak bengkak, nangis semaleman, ya?”

“Tadi pagi sarapan—“

“Al.” Gama memotong ucapan Aletta.

“Apa?”

Tak ada jawaban lagi dari Gama. Hanya tatapan yang sangat sendu dari mata yang terlihat merah dan sedikit bengkak, seperti tidak tidur berhari-hari dan menangis setiap malam.

“Kamu capek ngga sih?” Kini Aletta yang bersuara.

“Aku capek.”

“Udah dua tahun, Gama ….”

Bisa terlihat jelas, kini mata Aletta mulai berkaca-kaca.

“Aku sekarang serius.”

“Aku ngga kuat ….”

“Jangan kasih alasan apa-apa lagi.”

Dan, Aletta mengucap sebuah final.

“Aku nyerah deh.”

244.

Jea, sepupu Aletta yang usianya tidak jauh beda dengan usia Aletta itu kini sedang bergegas dengan langkah yang sangat cepat.

Langkah kakinya menuntunnya ke arah studio kampus yang biasa menjadi tempat siaran kekasih sepupunya itu.

Ketika tiba di sana, Jea langsung membuka pintu studio membuat perhatian orang-orang yang ada di dalamnya teralihkan padanya.

Kecuali Gama.

Jea menghampiri Gama dan memanggil namanya dengan penuh penekanan.

“Gama.”

“Gama.”

Dua kali namanya disebut, tetapi tidak ada respon dari laki-laki itu dan hanya terus fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya.

“GAMA.”

Kini ucapan Jea dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya, membuat Gama pun langsung meresponnya.

“Apa?”

Plak!

Tiba-tiba saja satu tamparan yang sangat keras dari tangan Jea mendarat tepat pada pipi kanan milik Gama.

Beberapa orang di sekitarnya melihat aksi itu dan tentunya sangat terkejut.

Gama hanya terdiam walaupun sebenarnya bingung, kenapa gadis ini tiba-tiba datang dan menamparnya?

“Aletta lo apain?”

“Lo brengsek banget.”

“DIA SAMPE NANGIS BERHARI-HARI, GA BISA TIDUR BERHARI-HARI GARA-GARA LO!” Ujar Jea dengan nada yang tinggi.

“Dia cuma khawatir, dia cuma mau nenangin lo. Tapi lo malah bentak-bentak dia, bilang kalo dia bakal seneng kalo lo cerita ibu lo ngga ada. Lo waras?”

Ocehan-ocehan itu terus keluar dari mulut Jea.

“Harusnya lo bersyukur, karena bakal lebih aneh kalo Aletta malah diem aja atau bahkan sampe ngga peduli kalo tau ibu lo ngga ada.”

Seolah ucapan-ucapan gadis yang ada di hadapannya ini hanya sebuah angin yang berlalu. Tak ada tanggapan sama sekali dari Gama. Laki-laki itu malah mengambil tasnya dan langsung pergi begitu saja.

Jay menghampiri Aletta yang sedang duduk manis di sebuah kursi dekat tiang speaker yang ada di kampusnya. Tujuannya agar ia bisa mendengar jelas suara Gama yang sedang siaran.

“Ga ada siaran kan?” tanya Jay saat ia menduduki dirinya di samping Aletta.

Aletta tersenyum kemudian menggeleng.

Jay memiringkan kepalanya agar bisa melihat jelas wajah Aletta.

“Abis nangis ya lo?” tanya Jay ketika sadar pada mata Aletta yang sedikit sembab.

Aletta terkekeh, “ngga, lah.”

“Eh, Al,”

“Apa?”

“Kemarin kan galon di rumah abis, terus gue nyuruh Gama buat beli galonnya.” Jay mulai bercerita.

“Terus?”

“Dua jam gue tungguin, kok lama bener beli galon doang. Eh, balik-balik ga bawa galonnya.”

Aletta dengan seksama mendengarkan cerita dari laki-laki itu.

“Katanya di tokonya ngga ada, soalnya dia belinya ke matrial.”

Tawa Aletta langsung pecah ketika mendengar cerita dari Jay. Aletta sudah menebak dari awal bahwa Jay akan bercerita yang aneh-aneh.

“Lo tau gak?”

“Apa?” tanya Aletta penasaran.

Aletta yakin, Jay akan mengeluarkan leluconnya lagi.

“Cowok lo tuh pinter banget manjat, padahal bukan keturunan monyet.”

Lagi dan lagi tawa Aletta mengiri lelucon itu. Tanpa sadar, Aletta tertawa sembari memukul-mukul dengan keras bahu Jay. Sebenarnya sakit, tapi Jay hanya diam dan ikut tertawa.

Seketika terlintas di pikiran Aletta. Mengapa Jay terlihat begitu ceria? Bukankah ia sedang berduka? Sedikit terlihat mata milik Jay itu sembab. Mungkin masih menangisi dengan apa yang baru saja terjadi. Tetapi sepertinya kini di depan Aletta Jay memakai topeng untuk menutupi kesedihannya.

“Al.”

“Apa? Lo punya jokes apa lagi?” tanya Aletta dengan sisa tawa ringannya.

“Ga mau ngejokes sih, mau ngajak jalan. Mau?”

Seketika tawa Aletta terhenti ketika mendengar ajakan dari Jay.

“Ke?”

“Ke mana aja, terserah lo. Mau?”

Aletta terlihat berpikir sejenak.

“Anter ke gramed deh, sekalian mau ada buku yang dibeli. Gapapa?” gadis itu memastikan.

“Ayo.”

Aletta dan Jay langsung bangkit dan segera menuju parkiran.

Dari jauh, ada seorang laki-laki yang memperhatikan mereka berdua.

Benar, itu adalah Gama.

Gama dari jauh menikmati tawa Aletta. Tawa yang begitu candu baginya.

Sangat ada rasa bersalah di dalam hatinya. Ia ingin sekali memghampiri Aletta dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya beberapa hari yang lalu. Namun, Jay lebih dulu menghampiri Aletta, membuat Gama mengurungkan niatnya.

237.

Aletta menuruti permintaan Jay untuk tidak mengganggu Gama. Padahal hatinya sangat tidak tenang. Selama lima hari ini, Aletta tidak bisa tidur nyenyak, bahkan gadis itu menangis karena khawatir.

Bagaimana bisa ia disuruh untuk tidak peduli pada Gama, ketika laki-lakinya itu kehilangan sosok ibunya?

Sampai dua hari kemudian, Aletta selintas melihat Gama yang berjalan menuju studio di kampusnya.

Aletta membututinya dari belakang. Laki-laki itu sudah kembali masuk kuliah? Bagaimana keadaannya? Pasti masih tidak baik-baik saja, karena ia sampai tidak menghubunginya seolah hilang begitu saja selama lima hari ke belakang.

Benar saja, Gama masuk ke dalam studio itu dan langsung disusul oleh Aletta.

Aletta membuka pintu studio dan terlihat jelas Gama sedang memasukkan laptop ke dalam tasnya.

Padahal suara pintu yang terbuka cukup keras, tetapi sama sekali tidak mengalihkan perhatian Gama.

“Gama ….”

Gama tidak menengok, masih dengan membereskan tasnya.

Aletta menghampiri laki-laki itu dan menyebut namanya sekali lagi.

Mendengar namanya disebut, Gama menghembuskan napasnya dalam-dalam sebelum ia membalikkan badannya, menghadap gadis yang ada di belakangnya.

Terlihat jelas mata laki-laki itu yang sedikit membengkak dan kantung mata yang sedikit tebal. Terlihat seperti karena tidak tidur berhari-hari.

Aletta langsung memeluk Gama dan mengusap pelan punggung laki-laki itu, berniat menyalurkan kekuatan.

Namun, Gama tidak membalas pelukan Aletta, ia malah melepaskan pelukannya.

“Kenapa ngga cerita, sih?” tanya Aletta dengan suara yang sedikit bergetar karena menahan tangis.

“Kenapa ngga bilang?”

“Kenapa diem aja?”

“Aku sampe ngga bisa tidur, aku ngga tenang, aku—“

“Al,” Gama memutus ucapan Aletta.

“Ngga ada yang perlu diceritain,” ujar Gama.

“Kamu tau kenapa aku ngga pernah mau cerita ke kamu?”

“Nggak ada yang perlu diceritain, Al,” ujar Gama.

“Nggak ada yang perlu diceritain, nggak ada hal penting yang harus aku ceritain ke kamu, semua cerita aku itu nggak penting, Al, semua tentang aku itu sampah!” Suara Gama itu sedikit meninggi, tetapi membuat Aletta cukup terkejut.

Gama kembali bersuara, “kamu mau aku bilang mama udah nggak ada, mama udah meninggal, terus kamu seneng karena aku udah mau cerita. Iya?”

Aletta menatap Gama dengan mata yang sangat berkaca-kaca, dengan kaki yang terasa tidak mampu lagi untuk berdiri dan dengan hati yang sudah tidak karuan rasanya.

Padahal, bukan itu maksudnya.

Jangan ditanya, tentu sangat terkejut ketika harus mendengar nada yang cukup tinggi dari laki-laki yang kini ada di hadapannya.

Aletta ingin membalas ucapan Gama tapi sumpah beribu sumpah, ia tidak mampu. Rasanya, tangisnya itu sudah ingin meledak.

Gama kemudian mengambil tasnya dan segera pergi meninggalkan Aletta.

Dan, ya ….

Tanpa permisi, air dari mata indah milik Aletta pun terjatuh.

225.

Sesampainya di taman yang mereka tuju, Aletta segera menghampiri kursi yang kosong. Gama hanya mengikuti langkah Aletta dari belakang.

Hari ini suasana taman cukup ramai. Entah kenapa, padahal hari ini bukan hari weekend.

“Al.”

Aletta menengok ke arah Gama dan terkejut lah ia karena Gama yang tiba-tiba menyodorkan sebuah cake yang ukurannya tidak terlalu besar, dengan sebuah lilin di tengahnya.

“Kamu bawa cake? Kok aku ngga liat?” tanya Aletta.

“Orang kamu jalan cepet banget, ngga sadar kan aku di belakang bawa cake.”

Aletta hanya terkekeh dan kemudian Gama menyuruh Aletta meniup lilinnya.

Sebelum meniup lilinnya, Aletta menutup matanya untuk membuat permohonan terlebih dahulu.

“Semoga kalo ada apa-apa, Gama mau cerita ke aku, Amin.” Aletta kemudian meniup lilin yang ada di cake tersebut.

Mendengar permohonan gadisnya itu, Gama hanya terkekeh pelan, kemudian menaruh cakenya di sampingnya.

“Tadi kamu sama bunda lucu,” ujar Gama tiba-tiba.

“Sayang banget ya, sama bunda?”

Aletta tersenyum, “iya, tapi lebih sayang mami.”

“Mami?” Bisa terlihat raut wajah Gama yang heran dengan jawaban gadisnya.

“Bunda itu bundanya Jea, bukan bundanya aku.”

“Maksudnya?”

“Bunda itu tante aku, adiknya mami.”

Gama hanya mendengarkan pengakuan Aletta, tak menjawab sedikit pun.

“Dari awal aku kuliah mami pergi ke Amsterdam, jadi aku dititipin ke bundanya Jea.”

Gama masih terdiam, namun tetap mendengarkan Aletta sembari menatapnya dengan lekat.

“Kamu udah lama tau Jay adik aku?” tanya Gama tiba-tiba.

Aletta mengangguk, “dia yang bilang sendiri, terus aku pura-pura belum tau ke kamu.”

“Aku boleh gantian nanya nggak?” tanya Aletta pada Gama.

“Apa?”

“Bukannya papa kamu suka gak ngebolehin kamu keluar sampe malem, ya? Tapi sekarang papa kamu udah ngga di rumah?”

“Dulu iya,” Gama mulai menjawab.

“Suka ngelarang ini itu, aku juga sempet bilang kan ke kamu kalo aku suka berantem sama papa gara-gara sering nginep di tempat Haidan?”

Aletta mengangguk, ia ingat bahwa satu-satunya hal yang pernah diceritakan oleh Gama adalah dia yang selalu bertengkar dengan papanya.

“Tapi bulan kemarin papa mutusin buat sama istri barunya.”

Aletta dengan serius mendengarkan Gama, karena ini adalah momen yang sangat langka dan yang pertama kalinya Gama menceritakan sesuatu kepadanya.

“Aku ngga bisa maksa, aku juga ngga mau serumah sama dia terus.”

“Apartemen itu juga sebenernya punya papa, tapi minggu lalu udah ditanda tangan sama mama, sekarang udah atas nama mama. Papa minta unitnya buat disewa, terus hasil uangnya buat mama, aku, sama Jay, biar mama ngga minta-minta uang ke papa lagi.”

Tidak disangka bukan, Gama merangkai kalimat-kalimat itu? Apa permohonannya ketika make a wish tadi dikabulkan? Secepat itu?

224.

Gama menjemput Aletta di rumahnya dan ia bertemu dengan Bunda Aletta.

Bunda Aletta menyambut Gama dengan ramah dan menyuruh Gama untuk duduk di ruang tamu terlebih dahulu karena Aletta yang masih bersiap-siap di kamarnya.

Ternyata ini adalah pertemuan keduanya dengan Bunda Aletta, karena sebelumnya Gama pernah bertemu dengan Bunda Aletta ketika ia hendak menjemput Aletta.

Aletta datang dengan outfitnya yang simple. Hanya memakai kaus dan dibalut dengan sweater berwarna cream.

“Saya izin ajak keluar Alettanya ya, tante.” Izin Gama pada Bunda Aletta sebelum ia pergi.

Bundanya mengangguk mengizinkan, kemudian tersenyum, “panggilnya bunda aja.”

Gama membalas senyumannya, “iya, bunda.”

Aletta yang melihat interaksi itu hanya tersenyum gemas, sebelum ia juga izin pada bundanya.

“Aku berangkat ya, bunda,” ujar Aletta yang langsung mencium kedua pipi milik bundanya.

Bundanya itu berkali-kali memupuk puncak kepala Aletta dan mereka terus bergurau sampai tak sadar bahwa mereka sudah di depan pintu.

Gama yang melihat itu hanya tersenyum. Indah sekali hubungan keluarganya.

220.

“Lo tunggu di sini aja, deh. Kemarin gue liat kucingnya di sebelah sana,” ujar Pia pada Aletta.

Aletta menurut, ia duduk di sebuah bangku taman dan menunggu Pia yang katanya hendak mengambil seekor kucing untuk dibawa pulang.

Sedari tadi, suasana hatinya sangat tidak bagus. Seperti ingin menangis, tapi tertahan.

Bisa-bisanya Gama tidak mengucapkan untuk hari ulang tahunnya. Lupa? Tidak mungkin. Sengaja? Sepertinya iya.

Kaki milik Aletta terus mengusak-usak pijakan tanah di bawahnya. Melampiaskan rasa bosannya karena Pia yang tak kunjung datang kembali.

Namun, tiba-tiba saja ada seorang badut beruang berwarna coklat menghampiri Aletta, membuat Aletta sedikit terkejut.

Aletta tersenyum tipis kepada badut yang menghampirinya itu.

“Om badut ngapain di sini? Ngga ada anak kecil,” ujar Aletta.

Badut itu hanya melambaikan dua tangannya. Mungkin memberikan sebuah isyarat kepada Aletta? Entahlah, Aletta pun tak mengerti.

Aletta merogoh tasnya, membuka dompetnya dan hendak mengambil beberapa lembar uang di dompetnya itu.

Namun, badut beruang berwarna coklat itu menggeleng dan kembali melambaikan tangannya. Mungkin sebagai isyarat “Tidak”?

Badut itu merogoh saku besar yang ada di tengah-tengah perutnya. Mengambil satu lembar kertas yang bertuliskan, “kamu lagi ulang tahun, ya?”

Aletta terkejut, bagaimana badut itu bisa tahu?

Aletta mengangguk sembari tersenyum. Kemudian, badut itu kembali merogoh sakunya dan mengambil satu lembar kertas lagi, yang kini bertuliskan, “si pendek makin tua, selamat ulang tahun, Aletta.”

Kini gadis itu terkejutnya bukan main. Siapa sebenarnya badut ini?

Badut itu segera melepaskan kepala badut beruangnya, dan terlihatlah wajahnya.

Sangat tidak disangka siapa orang yang ada di balik kostum badut itu. Membuat Aletta tertawa dan tak bisa berhenti tersenyum lebar.

Siapa lagi kalau bukan kelakuan Gamalandra.

“Ya ampun Gama, kamu ngapain?” tanya Aletta dengan senyum bahagianya.

“Jadi badut,” ujar Gama dengan polosnya.

Aletta kembali tertawa. Tawa renyah yang selalu menjadi candu bagi Gama. Tawa yang membuat Gama bangga jika itu adalah tawa Aletta tercipta karenanya.

Gama merentangkan tangannya, mengisyaratkan pelukan pada Aletta.

Gadisnya itu paham dan langsung memeluk erat laki-lakinya.

“Kamu ngga gerah pake baju badut gini?” tanya Aletta yang masih memeluk Gama.

“Ngga.”

Bohong.

“Tadi kucing kamu hampir keluar apart, untung masih kekejar,” ujar Gama.

Mendengar itu, Aletta langsung melepaskan pelukannya. “Terus sekarang gimana?”

“Ada di apart,”

“mau liat?”

“Mau, tapi sekarang aku lagi nunggu Pia,” ujar Aletta.

“Ngga apa-apa, Pia udah pulang.”

Aletta mengerutkan keningnya, “pulang?”

“Emang akal-akalan doang ngajak kamu ke sini buat bantuin aku nyamar jadi badut.”

Aletta langsung memukul bahu Gama yang dibalas ringisan dan tawa kecil oleh Gama.

“Mau ngga?”

“Kamu mau naik motor sambil pake baju badut gini?”

“Aku bawa mobil.”

Aletta kembali bingung dibuatnya, bukankah mobil miliknya itu sudah dijual?

Seolah paham dengan raut wajah Aletta yang bingung, Gama menjawab, “Aku masih ada mobil di apart, tapi ngga pernah aku pake.”

Aletta mengangguk paham sebelum ia mengiyakan ajakan Gama dan Gama segera pergi membawa Aletta menuju apartemennya.

Gamalandra, laki-laki itu memang sulit ditebak bukan? Diam-diam tak mengucapkan Aletta di hari ulang tahunnya, tetapi diam-diam juga melakukan hal konyol hanya untuk membuat Aletta tertawa.

220.

“Lo tunggu di sini aja, deh. Kemarin gue liat kucingnya di sebelah sana,” ujar Pia pada Aletta.

Aletta menurut, ia duduk di sebuah bangku taman dan menunggu Pia yang katanya hendak mengambil seekor kucing untuk dibawa pulang.

Sedari tadi, suasana hatinya sangat tidak bagus. Seperti ingin menangis, tapi tertahan.

Bisa-bisanya Gama tidak mengucapkan untuk hari ulang tahunnya. Lupa? Tidak mungkin. Sengaja? Sepertinya iya.

Kaki milik Aletta terus mengusak-usak pijakan tanah di bawahnya. Melampiaskan rasa bosannya karena Pia yang tak kunjung datang kembali.

Namun, tiba-tiba saja ada seorang badut beruang berwarna coklat menghampiri Aletta, membuat Aletta sedikit terkejut.

Aletta tersenyum tipis kepada badut yang menghampirinya itu.

“Om badut ngapain di sini? Ngga ada anak kecil,” ujar Aletta.

Badut itu hanya melambaikan dua tangannya. Mungkin memberikan sebuah isyarat kepada Aletta? Entahlah, Aletta pun tak mengerti.

Aletta merogoh tasnya, membuka dompetnya dan hendak mengambil beberapa lembar uang di dompetnya itu.

Namun, badut beruang berwarna coklat itu menggeleng dan kembali melambaikan tangannya. Mungkin sebagai isyarat “Tidak”?

Badut itu merogoh saku besar yang ada di tengah-tengah perutnya. Mengambil satu lembar kertas yang bertuliskan, “kamu lagi ulang tahun, ya?”

Aletta terkejut, bagaimana badut itu bisa tahu?

Aletta mengangguk sembari tersenyum. Kemudian, badut itu kembali merogoh sakunya dan mengambil satu lembar kertas lagi, yang kini bertuliskan, “si pendek makin tua, selamat ulang tahun, Aletta.”

Kini gadis itu terkejutnya bukan main. Siapa sebenarnya badut ini?

Badut itu segera melepaskan kepala badut beruangnya, dan terlihatlah wajahnya.

Sangat tidak disangka siapa orang yang ada di balik kostum badut itu. Membuat Aletta tertawa dan tak bisa berhenti tersenyum lebar.

Siapa lagi kalau bukan kelakuan Gamalandra.

“Ya ampun Gama, kamu ngapain?” tanya Aletta dengan senyum bahagianya.

“Jadi badut,” ujar Gama dengan polosnya.

Aletta kembali tertawa. Tawa renyah yang selalu menjadi candu bagi Gama. Tawa yang membuat Gama bangga jika itu adalah tawa Aletta tercipta karenanya.

Gama merentangkan tangannya, mengisyaratkan pelukan pada Aletta.

Gadisnya itu paham dan langsung memeluk erat laki-lakinya.

“Kamu ngga gerah pake baju badut gini?” tanya Aletta yang masih memeluk Gama.

“Ngga.”

Bohong.

“Tadi kucing kamu hampir keluar apart, untung masih kekejar,” ujar Gama.

Mendengar itu, Aletta langsung melepaskan pelukannya. “Terus sekarang gimana?”

“Ada di apart,”

“mau liat?”

“Mau, tapi sekarang aku lagi nunggu Pia,” ujar Aletta.

“Ngga apa-apa, Pia udah pulang.”

Aletta mengerutkan keningnya, “pulang?”

“Emang akal-akalan doang ngajak kamu ke sini buat bantuin aku nyamar jadi badut.”

Aletta langsung memukul bahu Gama yang dibalas ringisan dan tawa kecil oleh Gama.

“Mau ngga?”

“Kamu mau naik motor sambil pake baju badut gini?”

“Aku bawa mobil.”

Aletta kembali bingung dibuatnya, bukankah mobil miliknya itu sudah dijual?

Seolah paham dengan raut wajah Aletta yang bingung, Gama menjawab, “Aku masih ada mobil di apart, tapi ngga pernah aku pake.”

Aletta mengangguk paham sebelum ia mengiyakan ajakan Gama dan Gama segera pergi membawa Aletta menuju apartemennya.

Gamalandra, laki-laki itu memang sulit ditebak bukan? Diam-diam tak mengucapkan Aletta di hari ulang tahunnya, tetapi diam-diam juga melakukan hal konyol hanya untuk membuat Aletta tertawa.

210.

“Ngapain di sini?” tanya Gama ketika ia menghampiri Aletta di depan studio.

“Mau minta maaf,”

“ke kak Jordhan.”

Gama mengerutkan sedikit alisnya, meminta penjelasan maksud dari jawaban Aletta.

“Kamu ga sopan banget kemarin bales DMnya.”

“Kamu tuh kaya anak kecil, Kak Jordhan cuma bercanda ke aku. Sampe segitunya? Sampe ga mau siaran lagi?” Aleta mulai mengomel.

“Dari siaran tuh ngebantu buat kuliah kamu, Gama.”

Gama hanya mendengarkan ocehan-ocehan Aletta, membiarkan gadis cantiknya mengeluarkan segala kekesalannya.

“Terus bisa ga sih, kalo ada apa-apa tuh cerita ke aku. Walaupun aku ngga seratus persen bisa ngebantu kamu, tapi kalo kamu cerita, kamu ngeluarin apa yang kamu rasain ke aku, seenggaknya bisa ….”

Tiba-tiba saja Gama langsung membawa Aletta ke dalam pelukannya, membuat Aletta tak lagi melanjutkan kalimatnya.

“I love you.” Ucap Gama.

Entah Aletta yang bodoh atau bagaimana, hanya dengan satu aksi yang Gama lakukan, mampu membuat Aletta menghentikan ocehannya.

Jangan ditanya, sebenarnya Aletta lelah, sangat lelah. Tetapi ajaibnya, Gama selalu bisa membuatnya berkali-kali seolah tidak bisa berkata-kata lagi, seolah membuatnya jatuh lagi, jatuh sejatuh-jatuhnya pada seorang Gamalandra. Laki-laki yang tak pernah membuat pandangannya teralihkan.