haechanketawa

Tentang Melio, Gama dan Aletta.

Ini adalah harinya, hari di mana Rere dengan rasa terpaksanya harus menuju ke pernikahan teman dekatnya bersama laki-laki yang sangat menyebalkan.

Berbeda dengan Melio, di sepanjang perjalanan, laki-laki yang menurut Rere sangat menyebalkan itu justru terus mengembangkan senyum sembari mulutnya terkadang ikut komat-kamit mengikuti lirik musik yang sedang terputar dalam mobil.

Tersenyum tidak jelas, sebelum hatinya mungkin bisa hancur sehancur-hancurnya setelah melihat wanita itu benar-benar menjadi milik sahabatnya sendiri.

Mungkin sebagian dari kita sudah mengikuti kisah Gama dan Aletta. Kisah yang terlihat cukup rumit, namun pada akhirnya direstui oleh Semesta untuk bersama.

Hari ini adalah hari di mana akad itu terucap, dengan doa-doa yang menyertai sebagai harapan agar perjalanan panjang yang akan ditempuhnya sesuai dengan impian, menjalin sebuah rumah tangga dengan indah dan membentuk keluarga yang harmonis.

Gama dan Aletta adalah sahabat dekat Melio, pertemanan mereka sudah cukup lama. Sudah sepantasnya bukan, Melio mendukung dan ikut merasa bahagia ketika Gama dan Aletta sah menjadi sepasang suami istri?

Ya … seharusnya seperti itu.

Namun, saat sebuah cincin berlapis emas itu saling terpasang di jari manis si pengantin, Melio mengepalkan jari-jarinya dengan sangat erat. Benaknya berkecamuk, hatinya seperti sedang dicambuk oleh gerigi besi, punggungnya seperti ditusuk-tusuk serpihan beling, air matanya pun sudah tidak bisa dibendung lagi.

Benaknya menggerutu. Mengapa harus Gama? Mengapa harus sahabatnya sendiri?

Tiba-tiba terputar kembali sebuah kenangan yang terjadi sekitar tujuh tahun yang lalu, di mana Aletta baru menjadi mahasiswa baru di kampusnya.

Melio yang baru saja bisa membuat sebuah rendang karena diajari oleh Aletta, dan hari itu ia berniat untuk menunjukkan rendang buatan pertamanya untuk Aletta.

Dari kejauhan, ia bisa melihat Aletta yang sedang duduk seorang diri di kursi taman yang ada di kampus. Melio tersenyum, tekadnya sudah bulat untuk menghampiri Aletta dengan satu tentengan totebag yang di dalamnya terdapat tepak makan berisi rendang buatannya. Rasa percaya dirinya cukup besar untuk meminta penilaian masakannya pada Aletta.

Namun, langkah Melio harus terhenti ketika netranya menangkap sosok laki-laki yang menghampiri Aletta.

Aletta melayangkan senyumnya saat laki-laki itu menyodorkan kantung plastik putih yang berisi dadar gulung—jajanan kesukaan Aletta. Senyum Aletta seolah mengatakan bahwa, senyum itu hanya terbentuk untuk laki-laki yang baru saja menghampirinya.

Masih bisa terdengar cukup jelas percakapan kecil yang terjalin di antara mereka.

“Jadi nanti abis kelas mau mampir ke mana dulu?” tanya Aletta.

“Ke mana aja.”

“First date tuh harus yang berkesan.”

Seketika dua insan itu saling beradu tatap, tetapi di detik selanjutnya mereka memalingkan wajah ke arah lain seakan masih merasa malu-malu kucing untuk mengakui bahwa hari ini adalah hari pertama mereka mengemban status sepasang kekasih.

Refleks Melio memundurkan langkahnya. Niatnya ia urungkan kembali dan ia kubur dalam-dalam.

Senyumnya tersungging ketika mengingat hari itu.

Melio sadar bahwa Gama adalah sahabatnya semenjak ia mendudukkan kursi di bangku SMP, sehingga tindakannya ia tahan sekuat mungkin untuk tidak mengusik hubungan mereka. Namun jauh dari itu semua, tidak bisa dipungkiri bahwa Melio mencintai Aletta. Sangat mencintai Aletta.

for the ending.

gama sedang duduk di sofa ruang tamu, dengan secangkir kopi dan sebuah laptop yang menemaninya malam ini.

suara pintu terbuka membuat gama mengalihkan pandangannya dari laptop, ternyata itu adalah freya yang baru saja pulang entah darimana.

“masih inget rumah?” tanya gama pada freya.

“ya inget, kan ini rumah gue.”

“liat, udah jam berapa?” tanya gama lagi.

“jam setengah satu pagi, kenapa?”

gama memegangi keningnya sendiri. mengapa wanita itu masih bisa bertanya “kenapa?”

“kamu kalo abis pulang kerja ke mana dulu, sih? sampe pulang jam segini terus?”

freya menghembuskan napasnya, malas meladeni gama. “ributnya besok aja ya, capek.”

“tadi siapa yang nganter kamu?” gama menahan tangan freya.

“lo ngga punya hak buat tau.”

“tapi aku suami kamu.

“apa pantes kamu peluk-pelukan gitu sama laki-laki lain di depan rumah?” tidak, gama berkata seperti itu bukan karena ia cemburu. ia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang suami pada umumnya.

freya dengan kasar melepaskan tangan gama yang masih memegang lengannya dengan kuat.

“lo tau ga? gue nyesel.”

“gue nyesel nikah sama lo. kok gue bisa ya waktu itu pernah suka sama lo, terus rela-relain buang duit banyak biar lo mau nikahin gue?”

freya melanjutkan kalimatnya, “adik lo yang penyakitan itu kapan sembuhnya, sih? abis duit gue lama-lama cuma buat pengobatan adik lo.”

seketika emosi gama menaik saat mendengar kalimat itu dari freya.

“FREYA!”

“apa?”

“asal lo tau, gue malu. GUE MALU DIKATAIN TEMEN-TEMEN GUE KALO GUE NIKAHIN COWOK MISKIN KAYA LO!”

lagi dan lagi, itu selalu menjadi alasan gama dibenci oleh orang lain.

“gue udah ngobrolin ini sama keluarga gue, dan gue udah ngurus surat cerai. tinggal ditanda tanganin aja,” ujar freya.

“lo ga harus ngobrolin ini sama keluarga lo kan? kan lo ga punya keluarga.”

freya segera menaiki anak tangga, menuju kamarnya. gama hanya bisa berdiam di tempat.

memang benar, pernikahan ini tidak dilandaskan atas dasar cinta. jika boleh jujur, gama sama sekali tidak memiliki perasaan pada freya. di dalam hatinya masih terpampang jelas nama perempuan yang satu tahun lalu masih menjadi miliknya.

walaupun gama sama sekali tidak mencintai freya, ia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. lebih brengsek rasanya jika ia juga tidak memperlakukan freya dengan baik.

106.

Tiga tahun ia bersama Aletta dan ini adalah pertama kalinya ia melihat gadis itu datang ke tempat seperti ini. Wajahnya terlihat benar-benar menggambarkan bahwa dunianya sedang hancur. Gama sangat terkejut, lututnya seketika melemas ketika melihat gadis itu berkali-kali menegukkan air yang ada di sebuah cangkir berisi alkohol.

Langkah demi langkahnya ia dekatkan untuk menghampiri Aletta. Gadis itu sadar dengan kehadiran Gama dan tersenyum sangat manis sekali walaupun penampilannya sudah sedikit berantakan. Jika boleh jujur, Gama sangat merindukan bagaimana cara gadis itu menampilkan senyum yang hanya untuknya.

“Kirain ngga dateng,” ujar Aletta dengan polosnya, sepertinya ia sudah mabuk.

“Minum sini.” Wajah Aletta sudah terlihat sangat sayu.

“Ayo pulang,” ujar Gama sembari mencoba menarik lengan Aletta.

“Gama, lo kangen sama gue ngga sih?”

“Kalo ngga, kok hebat banget? Gue aja tiap malem nangisin lo terus.” Ucapannya sudah ngawur dengan sembari sesekali kembali meneguk minumannya.

Aletta tiba-tiba merentangkan tangannya. “Mau peluk, ayo peluk.”

Gama hanya terdiam, tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Aletta.

“Ayo peluk, kita liat Pio. Pio udah gede tau, kamu mau cium aku lagi nggak?” Suaranya sangat terdengar girang, padahal air matanya sudah membasahi pipi cantiknya.

“Ayo pulang, malu diliat orang-orang.” Gama akhirnya berhasil membawa Aletta keluar dari tempat itu, menuntun tangan milik Aletta dengan sedikit paksaan. Banyak sekali pasang mata yang melihat ke arah mereka, tetapi Gama tidak mempedulikannya. Aletta pun hanya pasrah, bahkan saat ini senyumnya sangat mengembang, matanya terus memperhatikan wajah Gama yang ternyata dirasa semakin tampan.

Gama mendudukkan Aletta di kursi samping pengemudi, ia hendak mengantarkan Aletta terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.

Saat ia melajukan mobilnya, Aletta terus berceletuk dengan tidak jelas. Namun, ada beberapa kalimat yang sangat menyinggung hatinya.

“Coba bilang sama aku, apa yang Freya punya dan apa yang ngga aku punya sampe kamu mau sama dia?” tanya Aletta.

“Lebih cantik dia, ya? Uang dia lebih banyak?”

“ Hahaha. Kalo aku kasih kamu perusahaannya mami, kamu mau cerai sama Freya terus balik lagi sama aku nggak?”

Tak ada jawaban dari Gama membuat Aletta semakin melontarkan kalimat-kalimat aneh.

“Gama, peluk aku ….” Aletta memohon dengan mata yang sudah sangat merah dan berkaca-kaca. Dadanya sangat sesak, bahkan untuk bicarapun rasanya sudah tidak kuat. Namun, Gama sama sekali tidak meladeni semua kalimat yang Aletta ucapkan. Pandangannya hanya fokus ke depan untuk menyetir.

“Kamu udah ngga peduli ya sama aku?” Lagi dan Lagi Gama tidak menjawabnya.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering beberapa kali, menandakan beberapa missed call karena Gama yang tak kunjung mengangkatnya.

Saat panggilan kali ini, Gama mencoba menjawabnya dan ternyata Freya yang menelfonnya.

Sekitar sepuluh detik ia mendengarkan suara dari sebrang sana. Tanpa membalas dengan suaranya, Gama segera mematikan ponselnya dan menambah kecepatan mobilnya.

Aletta masih merengek, melontarkan kalimat-kalimat yang berkali-kali tidak Gama jawab.

Tangan Aletta mencoba menggapai wajah Gama, memeganginya berkali-kali dengan sesekali tertawa.

“ALETTA DIEM DULU!” Sekalinya Gama berbicara, suaranya sangat lantang hingga mengeluarkan bentakan untuk Aletta.

Tentunya Aletta sangat terkejut dan segera menyingkirkan tangannya dari wajah Gama.

Tiba-tiba Aletta teringat bagaimana dahulu yang ia juga pernah dibentak seperti ini saat hubungannya masih baik-baik saja dengan Gama.

“Kamu mau anterin aku pulang, kan ….”

“Anterin aku pulang ….” Gama kembali fokus, laju mobilnya sangat cepat.

“Anterin aku pulang.” Suara Aletta kini lebih menekan.

“Ke rumah aku dulu,” ujar Gama singkat.

“Ngapain? Aku mau pulang.”

Aletta berteriak, “AKU MAU PULANG!”

Gama menatap Aletta sekilas. “FREYA DI RUMAH JATUH AKU NGGAK BISA KALO ANTERIN KAMU PULANG DULU!” Suara Gama tak kalah lantang, bahkan bentakannya lebih keras dari sebelumnya.

Ternyata ini alasan Gama tiba-tiba menaikkan laju kecepatan mobilnya sampai hampir menabrak pengendera lain. Gama sedang khawatir karena sosok wanita yang sedang menunggunya di rumah sedang tidak baik-baik saja.

Aletta nekat membuka seat belt-nya dan hendak membuka pintu mobil saat Gama sedang melaju dengan sangat cepat.

“Kamu mau ngapain? Jangan gila!” Akhirnya Gama menepikan mobilnya di pinggir trotoar.

“Keluar,” ujar Gama tanpa sama sekali melihat ke arah Aletta.

“Kamu … nurunin aku di pinggir jalan?”

“AKU BURU-BURU, ALETTA! AKU NGGA MAU DI RUMAH FREYA KENAPA-NAPA!” Lagi dan lagi bentakan yang Aletta dapatkan dari mulut laki-laki yang detik ini masih menjadi seseorang yang paling ia cintai.

Aletta menatap Gama sangat tidak menyangka. “Oke ….”

“Kamu hati-hati nyetirnya,” ujar Aletta kemudian ia keluar dari mobil Gama.

Gama segera kembali melajukan mobilnya, meninggalkan Aletta seorang diri di pinggir jalan.

Air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia tidak tahu harus bagaimana saat ini. Gama meninggalkannya seorang diri di pinggir jalan yang begitu gelap, hanya ada lampu pengendara yang berlalu lalang. Bahkan kepalanya sudah sangat berat, untuk melangkah saja sepertinya sudah tudak kuat. Aletta merasa benar-benar mual, dirinya sudah sangat mabuk.

Ternyata Gama tidak seperti Aletta. Laki-laki itu sudah benar-benar terlihat mengikhlaskan Aletta. Padahal jiwa ia sendiri masih tertinggal pada masa lalu. Gama masih menempatkan di ruang paling spesial di hatinya. Kini sumber kekhawatiran Gama bukan lagi Aletta. Bahkan ia bisa melihat jelas bagaimana raut wajah Gama yang sangat panik saat mendapatkan kabar buruk dari istrinya.

Secepat itu, Gama? Secepat itu kamu bisa menggantikan Aletta di hati kamu?

Heartbreak Anniversary.

Jakarta, 20 Desember 2021 ㅡ Tentang hari yang paling menyakitkan.

Katanya, dunia ini adalah tentang di mana segala sesuatunya ada yang datang dan ada yang pergi. Yang datang tidak akan selalu singgah dan yang pergi pasti akan digantikan oleh yang datang.

Katanya, tidak ada perpisahan yang tidak menyakitkan.

Katanya, perpisahan itu mengerikan.

Katanya, perpisahan itu menakutkan.

Benar, memang. Aletta sendiri bisa merasakannya. Luka pada hatinya begitu dalam, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu apakah bisa mengobatinya atau tidak.

Mata yang sangat berkaca-kaca itu tidak bisa disembunyikan ketika melihat laki-laki yang dahulu menjadi miliknya, yang dahulu menjadi rumahnya, yang dahulu sangat dicintainya kini sudah sepenuhnya milik wanita lain.

Senyum Gama terlihat sangat bahagia, begitu pula senyum wanita yang ada di sampingnya. Mereka menjadi sepasang pengantin bagaikan raja dan ratu dalam sehari. Sepertinya laki-laki itu sudah lupa bagaimana kenangan yang dibuat bersama-sama dengan Aletta. Laki-laki itu sepertinya lupa jika minggu lalu adalah hari dimana hubungannya menjalankan waktu yang ketiga tahun ...

jika masih bersama.

Padahal dulu, senyum indah milik laki-laki itu hanya tercipta karenanya, bahu kokohnya hanya menjadi tempat bersandar untuknya, lengan besarnya hanya untuk mengusap surainya ketika menguatkannya. Kini semua itu bukan miliknya lagi.

Padahal dulu, mereka sudah merangkai semuanya. Merangkai tentang bagaimana acara pernikahannya nanti, membayangkan betapa gemasnya putra-putrinya nanti, dan membayangkan bagaimana Gama yang setiap hari akan disuguhi pemandangan istri cantiknya. Itu semua sudah pernah mereka rancang dan Aletta kira, kursi pengantin wanita yang kini menjadi tempat istrinya itu akan ditempati olehnya. Ternyata tidak.

“Al, aku kira kamu nggak dateng,” ujar Gama saat Aletta dan Melio menghampiri kursi pengantin untuk memberikan salam dan ucapan selamat.

Aletta tersenyum. Senyum yang ditunjukkan sebagai bentuk turut serta rasa suka citanya untuk laki-laki itu. Padahal senyum itu adalah senyum yang sangat menyakitkan yang pernah Aletta rasakan. “Dateng, kok. Anyway, selamat, ya. Semoga bahagia dunia akhirat,” ujar Aletta dengan diiringi tawa ringannya.

Melio menatap Aletta, ia paham pasti perempuan itu sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Di bawah sana, Melio diam-diam meraih punggung tangan Aletta dan mengusapnya pelan dengan ibu jarinya.

“Selamat ya, bro.” Melio bersalaman kemudian menepuk punggung Gama beberapa kali.

Freya yang kini ada di samping Gama sebagai pengantin wanita tiba-tiba memeluk Aletta ketika Aletta memberikan ucapan selamat padanya.

“Thank you, Aletta. Kirain nggak bakal dateng, gue nunggu-nunggu banget dari tadi,” ujarnya.

Aletta tersenyum menanggapinya. Saat Melio, Haidan, Dion dan Nandra sedang berbincang kecil setelah memberikan ucapan selamat, Aletta tiba-tiba pergi menjauhkan diri dari mereka. Tentunya hanya Melio dan Gama yang sadar akan kepergian Aletta. Melio segera mengejar Aletta dan menarik lengannya.

“Mau kemana?” tanya Melio.

“Pulang. Udah, kan?”

Melio mengangguk dengan senyumnya yang sangat hangat, “oke, kita pulang.”

Saat Aletta dan Melio sudah masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja Gama datang dan membuka pintu mobilnya.

Napasnya terlihat sangat tersenggal-senggal. “Kamu udah mau pulang?” tanya Gama dan dibalas anggukan oleh Aletta.

Gama melirik ke arah Melio yang sedang menatapnya. Rasanya ingin sekali memeluk Aletta ...

untuk yang terakhir kalinya.

“Al ...”

“aku boleh peluk kamu?” Suaranya terdengar sangat dalam.

Aletta menggeleng. “Nggak, aku nggak mau ada yang salah paham. Aku mau tutup pintu mobilnya, tolong awasin tangan ka—”

Ucapan Aletta terpotong karena Gama yang tiba-tiba memeluknya. Dan saat itulah, tangisannya pecah.

Aletta sangat tidak kuat, dari tadi ia sudah menahan air matanya agar tidak keluar. Dan sialnya, tangan si brengsek itu mengusap punggung Aletta dengan pelan, membuat Aletta semakin ingin menangis.

Keduanya hanya saling berpelukan dalam diam, tidak ada yang bersuara. Ini akan menjadi pelukan yang terakhirnya, ini akan menjadi sentuhan terakhirnya. Tidak ada lagi Gama milik Aletta, tidak ada lagi Gama yang Aletta kenal, dan tidak ada lagi pelukan hangat yang bisa Aletta rasakan.

“Makasih ...”

“buat dua tahunnya,” ujar Gama pelan. Air mata milik laki-laki itu-pun turut membasahi pipinya.

Semesta memang jahat, tetapi akan lebih jahat lagi jika hari itu apa yang sudah Gama lakukan tidak Aletta ketahui. Perpisahan ini begitu mengerikan, hatinya hancur berkeping-keping. Tidak ada kalimat yang bisa mendeskripsikan rasa sakitnya. Aletta tidak mau berakhir, Aletta tidak mau Gama melepaskan pelukannya karena pada saat itu juga Aletta tidak akan pernah merasakan pelukan itu lagi.

Terkadang, hidup memang selucu itu. Dihadirkan seseorang selama dua tahun yang sudah seratus persen Aletta percayai. Namun, nyatanya tidak. Laki-laki itu sangat seperti iblis. Tidak sepatutnya Aletta menangisi perpisahannya saat ini karena memang Gama tidak pantas untuk mendapatkan wanita seperti Aletta. Namun, bagaimanapun juga Aletta yakin bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuknya. Ia yakin akan digantikan yang terbaik oleh Tuhan. Karena memang sudah hakikatnya, ada yang datang dan juga ada yang hilang.

49.

Seperti pada perjanjiannya, Alsha, Jay dan Jio berlatih bersama untuk mempersiapkan lomba yang diselenggarakan dari ajang pemilihan duta sosial di sekolahnya. Mereka berlatih di rumah Jay dan Jio sudah terlebih dahulu sampai di sana.

Mereka memulai latihannya dengan literasi bersama di gazebo yang ada di halaman rumah Jay. Masing-masing membaca sebuah buku paket berisi materi sejarah minat.

Alsha dan Jio dengan teliti membaca bukunya dalam hati. Sedangkan Jay, laki-laki itu malah hanya membuka bukunya tanpa membacanya. Matanya terus tertuju pada satu objek.

Merasa diperhatikan, Alsha mengangkat pandangannya dan melihat ke arah Jay.

“Jay, baca.” Suara Alsha terdengar menekan.

Jay malah tersenyum dengan polosnya tanpa melakukan apa yang diperintahkan oleh Alsha.

Alsha kembali bersuara dengan lebih menekan. “Jay.”

Jio melihat kedua temannya itu, ia tak bisa kembali fokus.

Alsha mengingatkan janji Jay sebelumnya yang akan dengan serius mengikuti latihan untuk lombanya. “Lo udah janji bakal serius ngikutin lomba ini,” ujar Alsha.

Jay menggeleng, kemudian mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba mengambil titik fokusnya.

Sorry,” ujar Jay.

Mereka kembali membaca bukunya masing-masing. Namun, belum juga lima menit, Jay kembali menatap Alsha. Seperti ada magnet dari perempuan itu, mata milik Jay selalu tertarik untuk terus menatapnya.

Tiba-tiba Jay berceletuk, “lo percuma banget cantik tapi bukan punya gue.”

Alsha dan Jio segera melihat ke sumber suara. Terdapat Jay yang menumpu kepalanya pada tangan kanannya dengan cengiran yang tidak jelas

Jio dengan polosnya membalas, “bukan punya kamu lah, Alsha kan punya mama papanya.”

“Please, lo mau serius nggak sih?” Alsha sudah mulai kesal. Dugaannya benar, latihan untuk lombanya tidak akan berjalan lancar jika ada Jay di dalam team—nya.

Jay langsung menegakkan badannya, menunjukkan bahwa dirinya semangat. “Serius, lah. Yuk, kapan? Sekarang juga gas.”

Alsha tak mengerti konteks dari ucapan Jay.

“Gue mah serius, mau sekarang langsung pacaran, gas. Lonya aja yang ga mau diseriusin.”

Entah harus merespon bagaimana lagi, Alsha sudah lelah. Impiannya saat ia kelas sepuluh adalah bisa menjadi duta sosial perwakilan dari kelasnya. Namun, sepertinya mimpinya itu tidak akan pernah tercapai.

Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghampiri mereka, lebih tepatnya menghampiri Jay. Wajahnya sangat tak asing bagi Alsha.

“Kunci motor?” Laki-laki itu tiba-tiba berujar sembari menjulurkan telapak tangan kanannya pada Jay.

Jay melemparkan sebuah kunci motor dan langsung tepat ditangkapnya.

Laki-laki berbadan tinggi itu langsung kembali berbalik badan dan pergi begitu saja.

“Kok ada Kak Gama?” tanya Alsha dengan suara pelan dan ragu.

“Ada lah orang rumahnya,” ujar Jio dengan polosnya.

Alsha semakin dibuat bingung. “Maksudnya?”

“Abang gue.”

Alsha terkejut bukan main. Jay sedang tidak berbohong?

Pasalnya, Gama adalah anak yang sangat rajin, selalu mendapat ranking tiga besar paralel, Gama juga anak yang sangat irit ngomong, tipikal cowok dingin yang diidam-idamkan kaum hawa di sekolah. Bagaimana bisa Jay adalah adiknya? Sifatnya sangat bertolak belakang. Jay sangat petakilan, tidak mau diam, omongannya selalu ceplas-ceplos bahkan sering mendapatkan ceramah dari guru akibat tidak pernah mengerjakan tugas serta selalu membuat gara-gara di kelasnya.

Jio menahan tawanya ketika melihat ekspresi wajah Alsha yang bingung.

“Aku juga kalo jadi kamu nggak bakal percaya sih Jay adiknya Bang Gama,” ujar Jio.

“Jangankan elu, gue juga ga percaya gue adiknya si Gama. Jelas gue ganteng gini abangnya malah macem komodo belum paksin.”

Kan, benar. Omongan Jay sangat ceplas-ceplos. Abangnya jauh dari sifat itu, Gama sangat irit dalam berbicara.

283.

cw // kiss. ㅡ

Voice note yang dikirimkan Aletta tadi berisikan suaranya yang mengatakan bahwa ia sedang berada di studio kampus.

Karena suara Aletta yang terdengar seperti sedang menangis, Gama berlari begitu cepat untuk menghampirinya, sampai menabraki beberapa orang di sekitarnya.

Benar saja, ketika Gama membuka pintu studio, terlihat lah Aletta yang sedang duduk sendiri dengan kedua tangannya yang menutup wajahnya. Gadis itu sedang menangis.

Gama menghampiri Aletta dan langsung memeluknya. Namun, Aletta malah memukul dada bidang milik Gama, membuat Gama tak jadi memeluknya.

“Eh kok akunya dipukul?”

Aletta menatap Gama, terlihat jelas air matanya yang membasahi pipinya.

“KAMU TUH DIKIT-DIKIT BILANG “maaf aku belum punya apa-apa, kalo kamu mau cari yang lebih dari aku gapapa.” KENAPA SIH? AKU TUH GA MAU PUTUS, MAU KAMU KAYA GIMANA PUN AKU GA MAU PUTUS.”

Aletta yang berteriak seperti itu membuat Gama menahan tawanya. Padahal Aletta yang lebih sering berkata bahwa ia lelah dan ingin menyerah dalam hubungan ini.

“Siapa yang bilang capek, mau nyerah?” tanya Gama berniat meledek Aletta.

Aletta kembali melayangkan pukulannya pada Gama.

“BILANG AJA KAMU MAU NYARI CEWEK BARU PAKE ALIBI “kalo kamu malu sama aku gapapa, kalo kamu mau sampe sini gapapa.” IYA, KAN?!”

Gama berusaha meluruskan, “ngga, hey. Sini dulu liat aku.”

“Kalo sama aku ngga bikin seneng, buat apa?”

“TAPI AKU MAU PACARAN SAMA KAMU, BUKAN SAMA MOBIL KAMU, BUKAN SAMA UANG KAMU!” Sepertinya gadisnya ini sedang sedikit sensitif.

“Iya, dengerin dulu.”

“Maksud aku, kalo emang kamu—“

“GA, GA ADA KALO-KALOAN.”

Gama menghembuskan napasnya. Ia lebih memilih mengalah karena ini pasti akan menjadi perdebatan yang panjang.

“Iya, oke. Maaf.”

Gama memeluk Aletta dan Aletta menangis di dalam pelukannya.

“Aku ga minta apa-apa, aku cuma mau kamu kalo ada apa-apa bilang ke aku, cerita ke aku, terbuka ke aku,” ujar Aletta dengan tangisnya yang masih menghiasi.

Gama hanya tersenyum. Apakah gadisnya ini setidak mau itu untuk kehilangannya? Jika jawabannya iya, berarti sama dengannya. Sama dengan Gama yang juga sangat tidak mau untuk kehilangan Aletta. Sampai kapan pun, ia tidak akan pernah siap.

“Al …”

“aku ngga tau harus gimana bilangnya.”

“Tapi aku sayang sama kamu, aku ga bisa bohongin perasaan aku sendiri kalo ketakutan terbesar aku selain kehilangan mama, ya kehilangan kamu.”

“Makannya aku ga pernah cerita kalo posisi aku lagi susah, aku ga mau bikin kamu malu, bikin kamu ga nyaman, aku takut kamu malah ga mau nerima aku lagi.”

“Tau ngga? Aku suka sama kamu dari jaman SMA, haha.”

“Tapi baru berani bilang pas udah kuliah.”

“Al, nanti kalo aku udah kaya dulu lagi, aku mau beliin kamu—“

“Ga.” Aletta memotong.

“Aku ga mau apa-apa, aku cuma mau kamu di sini.”

Gama melonggarkan sedikit pelukannya dan menatap Aletta, “maksudnya, aku mau beliin kamu mas kawin,” ujar Gama dengan polosnya dan langsung dibalas pukulan lagi oleh Aletta.

Gama tertawa ringan dan kembali memeluk Aletta. Tak peduli walaupun ada cctv yang bisa merekam mereka berdua.

“Maaf juga aku ga bisa kaya cowok di luaran sana, yang bisa romantis, yang bisa ini itu. Soalnya aku ga pinter kaya gituan.”

Gama kembali menatap Aletta dengan posisi yang masih memeluk gadisnya. Aletta sedikit menonggakkan kepalanya agar bisa melihat wajah laki-lakinya itu.

Dan, Gama mengucap sebuah final.

I love you.

Satu kecupan mendarat di bibir Aletta. Namun, Aletta dengan cepat menahan tengkuk Gama agar tidak hanya menjadi sebuah kecupan saja.

Gama terkejut, tetapi ia paham dan tersenyum mengetahui kelakuan gadisnya itu.

Mereka kembali bermain bibir, keduanya saling memejamkan matanya.

Benar, seperti yang sebelumnya pernah mereka lakukan di apartemen milik Gama.

French kiss.

Mereka tidak peduli walaupun ada satu cctv di ruangan itu. Gama dan Aletta tetap melanjutkan permainannya. Tangan Gama sudah rapih terlingkar di pinggang milik gadis cantiknya.

Aletta pun sudah mulai berani, kini tangannya ia lingkarkan pada leher Gama.

Ditambah alunan musik yang entah sejak kapan terputar, sebuah lagu berjudul Best Part itu membuat mereka semakin terlarut, saling menikmati dan lenguhan keduanya pun terdengar satu sama lain.

Kalau dilihat-lihat, lucu ya hubungan mereka?

Gama dengan gengsinya yang tinggi dan Aletta yang tidak peduli akan sebuah kata ‘menjaga image’.

Tapi percayalah, Gama mempunyai caranya sendiri untuk memberikan kebahagiaannya pada Aletta. Gama tidak banyak bicara dan tidak pandai merangkai kata-kata indah atau romantis layaknya seorang laki-laki kepada gadisnya. Baginya, perlakuanlah yang paling penting dibanding sebuah kata-kata.

Pada akhirnya pun Aletta tidak akan pernah bisa untuk melepaskan Gama.

Sama seperti Gama, ia akan terus melakukan beribu-ribu cara agar gadis cantiknya itu terus bertahan.

Bagi Gama, di dunia ini hanya ada tiga perempuan yang paling dicintainya.

Mama, Alena dan Aletta.

Jay?

Jay kan laki-laki, bukan perempuan.

Rasanya ingin cepat-cepat bisa memiliki Aletta dengan sepenuhnya, karena Gama sudah terlanjur menjatuhkan hatinya dalam sedalam-dalamnya pada Aletta.

Ia takut akan bergantung pada Aletta. Namun, seperti itulah kenyataannya. Gama sudah menjadikan Aletta sebagai dunianya, ia tidak akan pernah bisa lepas dari Aletta.

END.

277.

Pada malam minggu ini, pertemuan Gama dan Mami Aletta itu diawali dengan makan malam bersama.

Mami Aletta ternyata sangat cantik, sangat mirip dengan Aletta. Namun, terlihat sedikit jutek karena sedari tadi maminya hanya memasang wajah yang datar dan hanya sesekali bertanya kepada Gama, tidak ada obrolan yang panjang.

Saat makan malamnya selesai, dilanjutkan mengobrol ringan.

Tidak, bukan mengobrol. Lebih tepatnya hanya banyak pertanyaan dari Mami Aletta kepada Gama.

“Jadi kamu satu kampus sama Aletta?” tanya Mami Aletta. Padahal pertanyaan itu sudah dilontarkannya sewaktu mereka sedang makan.

“Iya, tante,” jawab Gama dengan nada yang ramah.

“Waktu itu kenapa kamu mau diajak Aletta naik metromini? Kamu ngga ada mobil?”

“Mi, kan Aletta udah bilang, Aletta yang mau naik metromini, masa Gama ngelarang.” Aletta menyanggah karena sepertinya pertanyaan maminya itu sudah mulai melenceng ke mana-mana.

“Diem. Mami nanya dia, bukan nanya kamu.”

Aletta hanya bisa menghembuskan napas, pasrah dengan kelakuan maminya.

“Saya ngga ngizinin kalo kamu ngajak anak saya jalan tapi harus panas-panasan.” Tiba-tiba saja suasananya menjadi tegang.

“Kamu punya mobil?”

“Mami,” Aletta mulai merasa tidak enak pada Gama. Ternyata dugaan Aletta benar, dari awal ia sudah takut jika maminya akan mempertanyakan hal-hal seperti ini. Ia takut Gama akan merasa tidak nyaman.

Gama tersenyum, “ada tante.”

“Kamu tinggal di rumah atau ngekost?”

“Di apart, tante.”

“Oh, kamu sewa unit?”

“Bukan, tante. Ini apart punya mama saya.”

Mami Aletta mengangguk-ngangguk, “ah, punya mama kamu.”

Di setiap pertanyaannya, Gama selalu menjawabnya dengan diiringi senyuman.

Rentetan-rentetan pertanyaan mami Aletta itu sudah seperti sedang wawancara tes kelulusan untuk mendapatkan restu.

Mami Aletta kembali bertanya, “waktu kamu cuma buat kuliah atau ada aktivitas lain yang penting?”

Ada sedikit jeda sebelum Gama menjawabnya.

“Saya kerja part time juga, tante.”

“Part time? Di?”

“Di cafe temen saya.”

“Jadi barista? Kamu jago bikin kopi?”

Gama langsung menggeleng cepat, “bukan, tante. Saya cuma jadi pelayan di sana.”

Aletta hanya bisa memegang keningnya, karena merasa sangat tidak enak pada Gama. Namun, Aletta pun tidak bisa bertindak apa-apa.

Terlihat jelas raut wajah maminya yang terkejut ketika mendengar jawaban dari kekasih anaknya.

“Pelayan cafe? Kok kamu jadi—“

“Mami.” Kini suara Aletta terdengar menekan dan menatap maminya dengan kesal.

“Mami ngga usah nanya-nanya sampe sedetail itu bisa ga sih? Itu bukan urusan mami.”

“Loh, mami kan nanya-nanya biar tau pacar kamu itu orang yang kaya gimana. Biar kamu ngga jatuh di laki-laki yang salah. Kamu ini gimana sih, orang mami—“

“Aku ga mau manggil papi ke Om Rion.”

Mendengar ucapan Aletta yang memotong perkataannya, sontak Mami Aletta langsung menatap Gama dan tersenyum sedikit terpaksa.

“Maaf ya Nak Gama, kalo saya nanyanya terlalu detail.”

Lagi-lagi Gama membalasnya dengan senyuman. “Ngga apa-apa, tante. Ngga masalah.”

“Tuh, cowok kamu aja ngga keberatan kalo mami—“

Aletta bangkit karena kekesalannya sudah mulai naik. “Mami.”

“Iya-iya. Sini duduk lagi.” Mami Aletta menarik lengan Aletta, menuntunnya agar kembali duduk.

Aletta benar-benar merasa tidak enak pada Gama. Ia takut Gama merasa tersinggung atau merasa tidak nyaman. Walaupun sebenarnya memang Gama sudah merasa tidak nyaman, tetapi Gama bisa membohongi situasi, ia tetap memasang raut wajah yang tenang dan terus tersenyum ramah, seolah tidak merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan dari Mami Aletta.

263.

Aletta terbangun ketika dering alarm dari ponselnya itu berbunyi. Ia mengusap matanya dan jam di ponselnya menunjukkan pukul sembilan.

Ah, ternyata masih berada di apartemen Gama.

Aletta melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu, kemudian terlihat lah Gama yang sedang menyiapkan beberapa makanan.

Gama sadar akan kedatangan Aletta, membuatnya menghentikan aktivitasnya.

Mereka saling bertatapan satu sama lain.

Canggung, seperti itulah kira-kira suasananya.

“Kamu kenapa sih kaya anak kecil?” tanya Aletta memecahkan kecanggungan keduanya.

“Ngapain minum sebanyak itu?”

“Cari perhatian ke aku? Iya?”

Gama mendekatkan dirinya pada Aletta. Kini terlihat jelas mata Gama yang kantung matanya terlihat besar.

Gama membalas ocehan Aletta, “baru semalem bilang “aku di sini, aku ga bakal ke mana-mana” tapi kok sekarang—“

“Aku mau udahan.” Aletta memotong ucapan Gama ketika laki-laki itu sedang memperagakan ucapannya saat semalam.

“Aku ngga bisa kalo kamu terus-terusan begini.”

“Aku juga pengen denger cerita kamu, aku pengen peluk kamu pas kamu cerita kalo hari kamu ngga baik-baik aja.”

“AKU PENGEN HUBUNGAN KITA ITU GAK CUMA HUBUNGAN DI ATAS STATUS.” Aletta berteriak dengan disusul satu tetes air matanya.

Benar, Aletta ingin sekali hubungannya ini bukan hanya sekedar hubungan di atas status. Ia ingin satu sama lainnya mengerti akan komitmen yang sesungguhnya.

“Iya ….”

“Iya, sekarang aku ngga lagi baik-baik aja, peluk aku sekarang, Aletta. PELUK AKU BUKAN NINGGALIN AKU!” Suara Gama pun tak kalah lantang dengan suara milik Aletta.

Aletta yang terkejut dengan bentakan yang diterimanya dari Gama.

Keduanya saling terdiam. Aletta dengan air matanya yang mulai mendominasi pipinya dan Gama yang emosinya mulai sedikit naik.

Gama tidak pernah kuat ketika melihat wanita yang dicintainya itu mengeluarkan air mata dan membasahi pipinya, apalagi jika itu karena ulahnya. Gama juga sebenarnya tidak pernah berani untuk membentak seorang wanita, karena itu membuatnya akan memunculkan penyesalan di hatinya.

Hatinya terus menggerutu bahwa dirinya adalah manusia paling brengsek ketika harus mengeluarkan nada tinggi jika ada beribu cara untuk berbicara secara halus.

Gama akhirnya bisa mengalahkan egonya, laki-laki itu membawa Aletta ke dalam dekapannya.

“Maaf ….”

“Jangan nangis, please, jangan nangis.”

“Aku takut liat orang nangis.”

Berkali-kali Gama menciumi pucuk kepala milik Aletta.

Aroma gadisnya yang selalu menjadi candu bagi Gama ketika ia mencium pucuk kepala gadisnya. Aroma yang tidak pernah berubah dan akan selalu menjadi kesukaannya. Karena jujur, aroma rambut Aletta sangat mirip dengan aroma rambut milik Alena, membuatnya semakin rindu kepada adik perempuannya yang sudah meninggalkannya terlebih dahulu.

“Kamu kalo aku nikahin sekarang dimarahin bunda gak?”

Aletta memukul dada bidang Gama dengan cukup keras, membuat samg empu meringis. Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini Gama melontarkan lelucon seperti itu.

Gama sangat khawatir jika Aletta benar-benar meninggalkannya. Ia sudah dua kali ditinggal pergi oleh kedua wanita yang ia anggap sebagai dunianya, Mama dan Alena. Gama tidak mau jika harus mengalami untuk ketiga kalinya, ditinggalkan oleh wanita yang paling dicintainya.

Entah sejak kapan, tapi yang pasti, kini Aletta sudah menjadi dunianya. Dunia milik Gama yang selalu membuatnya semangat, dunianya yang selalu membuat hatinya berdebar kencang ketika melihatnya, sekalipun hanya memandangnya dari jauh.

262.

Aletta mengantarkan Gama ke apartmennya. Aletta yang tidak mampu untuk membawa Gama yang keadaannya sangat mabuk malam itu membuatnya juga meminta bantuan Gilang, kakak tingkat Aletta dan teman yang lumayan dekat dengan Gama.

Gilang pergi terlebih dahulu ketika sudah tiba di apartemen milik Gama.

Aletta hendak pergi menyusul Gilang, namun tiba-tiba Gama menariknya sehingga Aletta terjatuh dan ikut terbaring di atas kasur milik Gama dengan posisi Gama yang memeluknya dengan erat.

Tentunya Aletta sangat tidak nyaman dan terus memberontak karena saat itu aroma tubuh Gama sangat tidak mengenakkan, bau alkohol yang sangat menyengat di hidungnya.

“GAMA, LEPASIN KAMU BAU ALKOHOL!” Aletta berteriak karena Gama yang semakin erat memeluknya.

“Mama mana?”

Gama tiba-tiba bertanya seperti itu, membuat Aletta berhenti memberontak.

“Mama udah ngga ada ya ….”

Keduanya saling terdiam, Aletta pun bingung harus merespon seperti apa.

“MAMA UDAH NGGA ADA AL, MAMA UDAH NGGA ADA!” Gama berteriak, terus menyebut mamanya membuat pelukannya itu terlepas.

“MAMA NGGA ADA, ALENA NGGA ADA, SIAPA LAGI ORANG YANG MAU NINGGALIN GUE? SIAPA LAGI?!”

“KENAPA GA GUE AJA YANG MATI ANJING KENAPA GA GUE AJA?!”

Mendengar teriakan-teriakan Gama itu, Aletta langsung memegang kedua bahu Gama dan berusaha menghentikannya.

“Gama, liat aku.”

“Mama kamu, udah tenang di sana.”

“Semua udah jadi rencana Tuhan, Gama.”

Gama malah menangis, membuat Aletta semakin khawatir.

Kepergian mamanya pasti membuat Gama sangat terpukul karena sedari kecil ia tidak pernah lepas dari mamanya. Bahkan dahulu Gama pernah berjanji bahwa ia tidak akan mencintai wanita lain selain mamanya dan Alena.

Aletta langsung memeluk Gama kemudian mengusap pelan punggung milik Gama. Aletta berusaha menahan aroma alkohol itu, ia terus mengusap dan memupuk pelan punggung Gama, agar laki-lakinya itu bisa merasa lebih tenang.

“Gapapa, masih ada Jay.”

“Masih ada aku juga.”

Tak ada respon lagi dari Gama, sepertinya laki-laki itu sudah sedikit tenang.

“Jam sepuluh aku pulang ya.”

Mendengar itu, sontak Gama langsung menarik selimut dengan satu kakinya, membuat selimut itu tepat menutupi setengah tubuhnya dan tubuh Aletta.

“Nginep,” ujar Gama singkat.

Aletta akhirnya pasrah karena sepertinya sudah sulit jika memberontak. Posisinya pun kini sudah bergantian, Gama yang memeluk Aletta dengan erat.

Sejujurnya Gama sangat khawatir, bagaimana jika Aletta benar-benar ingin meninggalkannya?

Berbagai upaya Gama lakukan untuk kembali membujuk Aletta, dari terus menyepam chat dan telfon walaupun tidak ada respon sama sekali dari gadisnya, hingga ia menjemput Aletta di pagi hari untuk berangkat ke kampus. Namun, ternyata gadis itu sudah berangkat terlebih dahulu, membuat Gama tidak mendapatkan hasil apa-apa.

Sesampainya di kampus pun Aletta mengabaikan Gama, gadis itu terus menghindar darinya.

Prak!

Tiba-tiba saja ada suara pecahan kaca yang sangat keras membuat lamunan Gama buyar. Sepertinya itu berasal dari kamar adiknya.

Gama langsung beranjak dari kasurnya dan segera menghampiri kamar milik Jay. Ia langsung membuka pintu kamar itu yang tidak dikunci.

Gama sangat terkejut ketika melihat telapak tangan Jay yang mengeluarkan darah. Walaupun tidak banyak darah yang keluar, tetapi tetap saja membuat Gama khawatir jika adiknya itu melakukan hal senonoh dengan sengaja.

Gama langsung menghampiri Jay yang sedang berdiri di depan meja belajarnya. Di meja belajarnya itu terdapat sebuah kaca rias milik mamanya yang kacanga sudah retak berkeping-keping dan beberapa foto keluarganya yang sudah sedikit tertetesi darah di atasnya.

“Ngapain si?” tanya Gama dengan sedikit emosi.

Jay menyengir, “nonjok kaca doang,” ujar Jay dengan entengnya.

Bisa terlihat jelas mata milik Jay itu merah dan bengkak, seperti habis menangis. Mungkin masih belum bisa menerima kepergian mamanya.

Sejujurnya Gama terkejut dengan apa yang baru saja Jay lakukan, karena dari awal kepergian mamanya, Jay lah yang terlihat paling kuat. Yang hanya menangis ketika pemakaman mamanya, itu pun tidak seberontak Gama.

Benar, Jay hanya memakai topeng. Laki-laki yang dua tahun lebih muda dari abangnya itu hanya berpura-pura kuat. Karena dia berpikir, Gama saja sudah seberontak itu ketika mengetahui mamanya tidak ada, jika Jay sama seperti Gama, siapa yang akan menguatkan Gama?

Jay yang selalu terlihat ceria bahkan selalu dicap konyol dan jahil karena ulahnya, ternyata menyimpan berjuta-juta luka di hatinya dan mengemban beribu-ribu beban di pundaknya.

Gama menarik pergelangan tangan Jay, hendak membawanya ke ruang tamu untuk mengobati lukanya. Namun, Jay dengan cepat menepis tangan Gama.

“Ga usah lebay, luka dikit doang,” ujar Jay dengan penuh penekanan.

“Lo bisa ga sih ga usah aneh-aneh?” tanya Gama dengan emosinya yang sudah mulai naik.

“Kita ga punya siapa-siapa lagi, ga usah ngelakuin yang aneh-aneh, kalo ada apa-apa ga bakal ada yang nologin kita.”

Jay terkekeh, “kaku amat lu kaya kanebo kering.”

Bisa-bisanya anak itu malah melawak ketika Gama sedang serius dengan emosinya.

Tak ada respon lagi dari Gama, mungkin daripada emosinya makin naik, laki-laki itu memutuskan untuk keluar dari kamar milik Jay.

“Kemana lo?” tanya Jay saat Gama mulai melangkahkan kakinya keluar kamarnya.

“Minum.”